Jakarta – Gurun Sahara dikenal sebagai salah satu wilayah paling kering dan tandus di Bumi, dengan sangat sedikit vegetasi atau tanda-tanda kehidupan hijau yang terlihat di sana. Namun, fenomena alam yang tak biasa baru-baru ini terjadi. Gurun terbesar di dunia ini terlihat menghijau setelah mengalami hujan deras yang langka. Kejadian ini memicu kekhawatiran di kalangan ilmuwan, karena perubahan yang tidak biasa ini bisa menjadi pertanda buruk terkait pemanasan global.

Dalam beberapa bulan terakhir, satelit berhasil menangkap citra tanaman yang tumbuh subur di beberapa bagian Gurun Sahara, terutama di bagian selatan yang biasanya sangat kering. Penghijauan ini terjadi setelah badai membawa curah hujan tinggi ke wilayah tersebut, meskipun seharusnya tidak terjadi. Akibat dari badai itu, beberapa area di gurun tersebut mengalami banjir besar yang sangat jarang terjadi. Ilmuwan memperkirakan bahwa pemanasan global, yang disebabkan oleh peningkatan emisi polusi, memainkan peran besar dalam memicu fenomena ini.

Curah hujan yang tinggi di wilayah utara Khatulistiwa Afrika biasanya berlangsung dari bulan Juli hingga September, sebagai bagian dari Musim Monsun Afrika Barat. Namun, sejak pertengahan Juli 2024, zona curah hujan ini bergeser lebih jauh ke utara dari biasanya, sehingga membawa badai ke wilayah selatan Gurun Sahara. Akibat dari pergeseran ini, beberapa bagian Gurun Sahara mengalami hujan yang jumlahnya berkisar dari dua hingga enam kali lebih banyak dibandingkan dengan kondisi normal.

Menurut Karsten Haustein, seorang peneliti iklim dari Universitas Leipzig, ada dua faktor utama yang mempengaruhi pergeseran zona hujan tersebut. Pertama, transisi dari fenomena El Nino ke La Nina telah mengubah pola pergerakan hujan. Selain itu, pemanasan global juga menjadi faktor signifikan yang menyebabkan Zona Konvergensi Intertropis bergerak lebih jauh ke utara. Perubahan ini, menurut Haustein, berhubungan langsung dengan semakin panasnya Bumi.

Studi yang diterbitkan di jurnal Nature pada bulan Juni juga mendukung teori ini, menunjukkan bahwa pergeseran curah hujan ke wilayah utara kemungkinan akan terjadi lebih sering dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini sejalan dengan peningkatan kadar karbon dioksida dan pemanasan global yang semakin intensif. Pergeseran zona hujan ini tidak hanya menyebabkan penghijauan di beberapa bagian Gurun Sahara, tetapi juga mengganggu pola cuaca lainnya, termasuk musim badai Atlantik dan curah hujan di beberapa negara Afrika.

Negara-negara yang biasanya mendapat curah hujan lebih banyak, seperti Nigeria dan Kamerun, mengalami penurunan curah hujan sebesar 50 hingga 80 persen dibandingkan dengan kondisi normal. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang biasanya lebih kering, seperti Niger, Chad, Sudan, Libya, dan bagian selatan Mesir, justru mengalami peningkatan curah hujan hingga 400 persen sejak pertengahan Juli 2024.

Contohnya adalah Chad bagian utara, yang merupakan bagian dari Gurun Sahara. Wilayah ini biasanya hanya menerima sekitar satu inci hujan antara pertengahan Juli hingga awal September. Namun, pada tahun ini, curah hujan yang turun mencapai antara tiga hingga delapan inci selama periode yang sama. Akibatnya, terjadi banjir besar di Chad, yang mempengaruhi hampir 1,5 juta orang dan menyebabkan sedikitnya 340 kematian.

Banjir dahsyat juga melanda Nigeria, terutama di wilayah utara yang biasanya lebih kering. Lebih dari 220 orang dilaporkan tewas, dan ratusan ribu orang harus mengungsi akibat bencana ini. Sementara itu, di Sudan, banjir mematikan pada akhir Agustus menghancurkan lebih dari 12.000 rumah dan menewaskan sedikitnya 132 orang.

Fenomena banjir yang merusak ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global. Seiring dengan meningkatnya suhu Bumi, atmosfer mampu menahan lebih banyak uap air, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan curah hujan dan banjir yang lebih parah. Menurut Haustein, situasi ini bisa menjadi lebih sering terjadi di masa depan, terutama jika laju pemanasan global terus meningkat.

Penghijauan yang terjadi di Gurun Sahara ini, meskipun tampak sebagai fenomena alam yang indah, sebenarnya menjadi tanda peringatan yang serius tentang bagaimana perubahan iklim mulai mengubah kondisi cuaca dan ekosistem di berbagai belahan dunia. Ilmuwan memperingatkan bahwa perubahan drastis seperti ini bisa menjadi lebih umum di tahun-tahun mendatang, dan dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih besar bagi lingkungan dan manusia.

Wilayah Afrika yang terdampak perubahan pola curah hujan ini, seperti Nigeria, Chad, Sudan, dan lainnya, harus bersiap menghadapi tantangan baru dalam hal adaptasi iklim. Bencana banjir yang terus meningkat dapat memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut, terutama bagi masyarakat yang sudah rentan.

Lebih jauh lagi, dampak pemanasan global yang semakin jelas di wilayah Sahara ini memperkuat urgensi untuk segera mengambil tindakan dalam menurunkan emisi karbon dioksida dan menghentikan laju perubahan iklim. Kebijakan-kebijakan yang mendukung energi bersih, pelestarian lingkungan, dan pengurangan polusi menjadi semakin mendesak agar fenomena cuaca ekstrem seperti ini tidak menjadi hal yang biasa.

Ilmuwan terus memantau perkembangan cuaca dan perubahan lingkungan di wilayah Sahara serta wilayah lain di seluruh dunia. Satelit dan teknologi lainnya menjadi alat penting dalam memahami dampak pemanasan global dan memperkirakan perubahan yang akan datang. Namun, tanpa tindakan nyata dari manusia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Bumi bisa menghadapi perubahan yang lebih dahsyat di masa depan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *