Jakarta – Dalam sebuah laporan baru yang mengguncang dunia kedirgantaraan, NASA dinyatakan berada di titik kritis. Laporan berjudul “NASA at a Crossroads” ini diterbitkan oleh Akademi Nasional Sains, Teknik, dan Kedokteran atas permintaan Kongres Amerika Serikat. Laporan tersebut menggambarkan dengan jelas betapa parahnya kondisi yang saat ini dihadapi oleh NASA, sebuah lembaga yang pernah menjadi simbol keunggulan Amerika Serikat dalam eksplorasi luar angkasa.
Menurut laporan yang dipublikasikan oleh The Washington Post, NASA tengah menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari kehilangan talenta terbaik hingga penurunan anggaran yang signifikan. Laporan tersebut menyoroti bahwa NASA, meskipun masih terlibat dalam proyek-proyek ambisius seperti peluncuran Teleskop Luar Angkasa James Webb, mulai merasakan dampak serius dari penundaan misi-misi lain yang sangat penting, seperti Mars Sample Return. Dalam konteks ini, saingan seperti China berpotensi mengungguli Amerika Serikat dalam persaingan luar angkasa.
Salah satu isu utama yang dibahas dalam laporan ini adalah hilangnya talenta-talenta terbaik NASA. Banyak insinyur berpengalaman yang memilih untuk pensiun atau beralih ke sektor swasta, di mana mereka dapat menerima kompensasi yang lebih tinggi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi krisis di NASA, karena lembaga ini semakin kesulitan untuk merekrut talenta baru yang inovatif dan kreatif.
“NASA kehilangan banyak insinyur yang berbakat. Mereka tidak mau hanya mengawasi pekerjaan orang lain, mereka ingin berinovasi,” kata Norman Augustine, mantan CEO Lockheed Martin yang juga memimpin komite penyusun laporan ini. Pernyataan ini menunjukkan betapa mendalamnya masalah yang dihadapi NASA, terutama dalam mempertahankan dan merekrut tenaga kerja yang mampu memajukan program-program eksplorasi luar angkasa.
Masalah ini semakin diperburuk oleh pemotongan anggaran yang terus-menerus dialami NASA. Selama beberapa tahun terakhir, NASA telah mengalami penurunan pendanaan yang signifikan, meskipun tetap terlibat dalam beberapa proyek besar. Di satu sisi, NASA berhasil menarik perhatian dunia dengan peluncuran Teleskop Luar Angkasa James Webb, namun di sisi lain, proyek-proyek penting lainnya mengalami penundaan. Salah satu contohnya adalah Mars Sample Return, sebuah misi penting yang memungkinkan pengambilan sampel dari Mars untuk dibawa kembali ke Bumi. Penundaan misi ini memberikan peluang besar bagi China untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam eksplorasi luar angkasa.
Laporan setebal 200 halaman tersebut mencakup rekomendasi dari puluhan ahli di berbagai sektor, termasuk entitas publik dan swasta, seperti SpaceX, Planetary Society, dan berbagai universitas. Laporan ini juga menekankan bahwa NASA terlalu fokus pada tujuan jangka pendek dan mengabaikan perencanaan strategi jangka panjang, yang seharusnya menjadi fondasi kesuksesan di masa depan.
“Seseorang cenderung mengabaikan hal-hal yang mungkin kurang glamor, tetapi hal itu akan menentukan kesuksesan NASA di masa depan,” kata Augustine, merujuk pada pentingnya fokus NASA dalam membangun strategi yang berkelanjutan untuk jangka panjang.
Dalam upaya mengatasi masalah kekurangan talenta dan anggaran, NASA semakin bergantung pada kemitraan dengan sektor swasta selama dekade terakhir. Namun, hasil dari pendekatan ini beragam. Salah satu contohnya adalah kontrak yang diberikan kepada Boeing untuk mengembangkan pesawat ruang angkasa Starliner yang dirancang untuk mengirimkan astronot ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Namun, hingga kini Starliner belum siap, dan NASA harus mengandalkan SpaceX dengan kapsul Crew Dragon untuk membawa astronot kembali ke stasiun luar angkasa.
Administrator NASA, Bill Nelson, sangat menekankan pentingnya persaingan luar angkasa antara Amerika Serikat dan China. Nelson juga menjadi pendukung kuat kemitraan NASA dengan sektor swasta. Menurutnya, laporan ini sejalan dengan upaya NASA untuk memastikan bahwa mereka memiliki infrastruktur, tenaga kerja, dan teknologi yang dibutuhkan untuk menghadapi dekade-dekade mendatang.
Namun, para pengamat berpendapat bahwa Nelson mungkin melewatkan beberapa poin penting yang disampaikan dalam laporan ini. Meski NASA berusaha keras untuk beradaptasi dengan tantangan yang ada, krisis talenta dan anggaran tetap menjadi ancaman serius bagi masa depan badan antariksa ini.
Tantangan yang dihadapi NASA semakin diperparah oleh meningkatnya persaingan global dalam eksplorasi luar angkasa. China, misalnya, telah mengumumkan rencana ambisius untuk membangun pangkalan di Bulan pada tahun 2035. Jika AS tidak segera melakukan perubahan mendasar, bukan tidak mungkin negara-negara seperti China akan melampaui Amerika Serikat dalam perlombaan menuju eksplorasi ruang angkasa yang lebih maju.
Laporan ini jelas menunjukkan bahwa NASA harus segera mengambil langkah-langkah penting untuk menyelamatkan masa depannya. Dengan pemotongan anggaran yang berkelanjutan, hilangnya talenta terbaik, dan meningkatnya persaingan global, NASA berada pada titik kritis yang membutuhkan strategi jangka panjang yang lebih matang. Tanpa perencanaan yang tepat, masa depan eksplorasi luar angkasa Amerika Serikat bisa berada di ambang krisis yang lebih besar.
Dalam beberapa tahun ke depan, NASA akan terus dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah mereka akan terus bergantung pada sektor swasta untuk mendukung misi-misi luar angkasa mereka, atau apakah mereka akan menemukan cara untuk memperkuat basis internalnya dengan merekrut kembali talenta-talenta terbaik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan NASA dan posisi Amerika Serikat dalam persaingan global untuk menguasai ruang angkasa.