Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah merencanakan kebijakan baru untuk membatasi pembelian BBM subsidi. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa subsidi BBM diberikan secara tepat sasaran, terutama kepada golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengungkapkan bahwa data menunjukkan 80-95% BBM bersubsidi justru dinikmati oleh masyarakat golongan atas, yang seharusnya tidak berhak mendapatkan subsidi tersebut.
Menurut data yang dipaparkan oleh Rachmat, pada tahun 2022 sebanyak 95% subsidi solar dinikmati oleh rumah tangga yang berada di desil 5 hingga 10, yang merupakan kelompok dengan pengeluaran tertinggi di Indonesia. Total konsumsi solar subsidi pada tahun tersebut mencapai lebih dari 15 juta kiloliter. Hal yang sama terjadi pada Pertalite, di mana 80% dari total konsumsi Pertalite bersubsidi, atau sekitar 19 juta kiloliter, juga digunakan oleh golongan masyarakat yang sama.
“Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar pula penggunaan BBM-nya. Ironisnya, subsidi BBM yang seharusnya dinikmati oleh golongan rentan justru lebih banyak digunakan oleh golongan masyarakat yang lebih mampu,” ujar Rachmat saat berbicara dalam diskusi di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (12/9/2024).
Dari data yang diungkapkan, sejak 2019 pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM rata-rata sebesar Rp 119 triliun per tahun. Angka subsidi terbesar terjadi pada tahun 2022 dengan nilai mencapai Rp 292 triliun. Besarnya anggaran subsidi ini menimbulkan kekhawatiran tentang efisiensi penggunaan APBN, terutama karena sebagian besar subsidi justru tidak tepat sasaran.
Rachmat menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa terus menerus memberikan subsidi kepada masyarakat yang sebenarnya sudah mampu membeli BBM tanpa bantuan subsidi. Oleh karena itu, pemerintah mulai merancang kebijakan subsidi yang lebih tepat sasaran, sehingga beban anggaran negara tidak semakin membengkak.
“Jika terus ditanggung oleh negara, angka APBN akan terus meningkat, terutama jika subsidi tidak diberikan secara tepat sasaran. Oleh sebab itu, kita harus memastikan subsidi ini diberikan dengan lebih bijak. Subsidi yang tepat sasaran bisa menciptakan win-win solution, tanpa menambah beban negara,” tambahnya.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah melakukan pembatasan pembelian BBM subsidi berdasarkan kapasitas mesin kendaraan. Kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 1.400 cc untuk bensin dan di atas 2.000 cc untuk diesel tidak akan lagi diperbolehkan membeli BBM subsidi. Meski demikian, Rachmat menegaskan bahwa dampak dari kebijakan ini tidak akan signifikan, karena hanya sekitar 10% dari total kendaraan di Indonesia yang akan terkena pembatasan tersebut.
“Dari perhitungan kami, jika skenario pembatasan BBM subsidi berdasarkan kapasitas mesin kendaraan diterapkan, maka dampaknya hanya akan terasa pada sekitar 10% dari total kendaraan yang ada. Jadi, kebijakan ini tidak akan terlalu memberatkan masyarakat luas,” jelas Rachmat.
Namun, meski pembatasan ini dinilai sebagai langkah yang masuk akal oleh beberapa pihak, ada juga kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa kebijakan ini bisa memicu kenaikan harga BBM untuk golongan yang tidak lagi berhak mendapatkan subsidi. Beberapa pengamat juga menyoroti bahwa kebijakan seperti ini harus diimbangi dengan sosialisasi yang baik agar tidak menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, penggunaan energi fosil yang masih dominan di Indonesia juga menjadi perhatian. Beberapa ahli mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap energi fosil yang disubsidi oleh pemerintah bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Subsidi yang besar pada BBM berbasis fosil dianggap bisa menghambat perkembangan energi terbarukan dan membuat pemerintah terus mengeluarkan anggaran besar untuk menjaga harga BBM tetap terjangkau.
Dalam beberapa diskusi publik yang belakangan digelar, para pengamat energi juga mengingatkan bahwa meski harga BBM bersubsidi tampak murah, biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan akibat ketergantungan pada energi fosil justru bisa sangat mahal. Oleh sebab itu, selain merencanakan pembatasan subsidi, pemerintah juga didorong untuk mempercepat transisi menuju penggunaan energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Terkait dengan kebijakan pembatasan BBM subsidi, pemerintah diperkirakan akan mengeluarkan keputusan resmi dalam waktu dekat. Rencana ini juga sudah mulai diujicobakan melalui beberapa kebijakan uji coba yang diterapkan di beberapa daerah. Pemerintah berharap, dengan adanya pembatasan yang lebih ketat, subsidi BBM dapat lebih dinikmati oleh golongan masyarakat yang paling membutuhkan.
Keputusan ini juga diharapkan dapat membantu menurunkan beban subsidi yang ditanggung oleh pemerintah, sehingga anggaran negara bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, pembatasan subsidi BBM juga diharapkan bisa mendorong masyarakat kelas menengah ke atas untuk lebih bijak dalam menggunakan BBM dan mempertimbangkan opsi transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Langkah ini tentunya akan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah daerah, pelaku industri, maupun masyarakat umum. Dengan pengaturan yang baik dan transparansi dalam pelaksanaannya, kebijakan ini diharapkan bisa menjadi solusi bagi masalah subsidi BBM yang selama ini sering tidak tepat sasaran.